Sunday, June 30, 2013

Kisah Cerdiknya Seorang Pemuda Yang Ikhlas

Seseorang yang menyaksikan kisah nyata ini bercerita :

Suatu hari aku di Mekah, di salah satu supermarket. Setelah aku selesai memilih barang-barang yang hendak dibeli dan aku masukan ke dalam kereta barang, maka akupun menuju tempat kasir untuk antri membayar.

Di depanku ada seorang wanita bersama 2 putri kecilnya & dibelakang mereka ada seorang pemuda yang persis di hadapanku di posisi antrian.

Aku perhatikan ternyata setelah menghitung lalu sang kasir mengatakan, "Totalnya 145 real". Lalu sang wanitapun memasukan tangannya ke tas kecil untuk mencari2-cari uang, ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 real & beberapa lembar pecahan 10an real. Aku juga melihat ke 2 putrinya juga sibuk mengumpulkan uang pecahan real miliki mereka berdua hingga akhirnya terkumpulah uang mereka 125 real.

Maka nampaklah ibu mereka berdua kebingungan & mulailah sang ibu mengembalikan sebagian barang-barang yang telah dibelinya. Seorang putrinya berkata: "Bu, yang ini kami tidak jadi beli, tidak apa-apa, tidak penting bu..".

Tiba-tiba aku melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan selembar uang 50 real di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi & cepat.

Lalu sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan penuh kesopanan & ketenangan seraya berkata,
" Ibu, maaf perhatikan, mungkin uang 50 real ini jatuh dari tas kecil ibu …".

Lalu sang pemuda menunduk & mengambil uang 50 real tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita.

Sang wanitapun berterima kasih kepada nya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.

Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia ingin segera melarikan diri. Akupun segera menyusulnya lalu aku berkata: "Akhi sebentar dulu, aku ingin berbicara denganmu sebentar".

Lalu aku bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat & cemerlang seperti tadi ?"

Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah aku kabarkan kepadanya bahwa aku telah menyaksikan semuanya & aku menenangkannya serta menjelaskan bahwasanya aku bukanlah penduduk Mekah, aku hanya menunaikan ibadah umroh & aku akan segera kembali ke negeriku & kemungkinan besar aku tidak akan melihatnya lagi. Lalu iapun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama 2menit tatkala sang wanita & kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robbmu Allah Subhaanahu wa ta'aala telah mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu dihadapan ke 2 putrinya...

Demi Allah, aku mohon agar engkau tidak ber tanya-tanya lagi & biarkan aku pergi".

Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang2 yang Allah berfirman tentang mereka :
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧)
"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)

Lalu sang pemuda itupun meminta izin kepadaku dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya. Begitu ia ingin menyimpan rapat kebaikan yang telah dilakukannya.

Semoga kisah ini bermanfaat dan dapat menjadikan hikmah bagi kita semua. Aamiin.

Friday, June 21, 2013

Meresapi Berbisnis Dalam Islam

Akhir pekan lalu, saat merapikan buku-buku koleksi yang terserak, saya menemukan sebuah sebuah buku berbahasa Arab dengan kertas isi berwarna putih (alias bukan kitab kuning). Di sampul, tertulis judul “Tafsir Ayat Al-Ahkaam” atau tafsir ayat-ayat tentang hukum.

Buku karya Muhammad Ali Ash Shabuny ini saya buka-buka dengan hati-hati. Maklum buku lawas, kira-kira saya peroleh hampir 20 tahun silam. Begitu lama tak menyentuhnya. Dari daftar isi, perhatian saya langsung tersita ke sebuah bab yang khusus membahas riba.

Saya langsung ke halaman awal bab riba. Riba, menurut buku itu, adalah “ziyadah mutlaqah” alias tambahan yang pasti alias dimutlakkan. Sambil membaca cepat, saya lantas teringat fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan bunga bank, yang mutlak sekian persen per tahun, karena tergolong riba.

Fatwa MUI memang bukan hukum, melainkan kesepakatan ulama sehingga boleh diikuti atau tidak. Setidaknya jadi penuntun. Tapi di luar itu, saya pun merasakan, mengapa Islam (sebagaimana banyak tertera pada fiqh muamalah) memiliki sistem hubungan bisnis.

Islam tidak hanya melarang perolehan bunga atau riba, tapi juga menyediakan solusi mendapatkan yang baik, yang sesuai syariah.

Dalam hubungan bisnis, solusi yang dikenal adalah mudharabah dan musyarakah. Keduanya sama-sama berpijak pada bagi hasil (berbagi keuntungan yang diperoleh), namun berbeda dalam hal memandang kerugian.

Pada sistem mudharabah, pihak pemberi modal disebut dengan shahib al-maal, sedangkan pihak penerima modal disebut mudharib. Sejumlah literatur menyebutkan, model ini pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saat berbisnis dengan Khadijah. Muhammad bertindak sebagai mudharib, sementara Khadijah — yang menyerahkan domba-dombanya kepada Muhammad untuk dijual — sebagai shahibah al-maal.

Dalam hubungan bisnis ini, seandainya terjadi kerugian, maka yang menanggung adalah shahib al-maal. Tapi dengan catatan, jika kerugian akibat kelalaian atau ulah penyimpangan yang dilakukan oleh mudharib, maka dia pun ikut menanggung.

Sementara jika ada keuntungan, maka diterapkanlah pola bagi hasil sesuai kesepakatan awal. Misalnya, 70:30 antara pemberi modal dan penerima modal. Kata kuncinya adalah kesepakatan awal, sehingga kedua belah pihak sama-sama rela menerima rasio bagi hasil (yang tentu memperhitungkan risiko bisnis).

Pada sistem lainnya, yaitu musyarakah (arti harfiah: perserikatan), para pemberi modal adalah orang-orang yang terlibat dalam sebuah usaha (berserikat). Karena itu, baik keuntungan maupun kerugian yang didapat, akan ditanggung dan dinikmati bersama.

Khusus terkait keuntungan, tentu telah memperhitungkan seluruh biaya. Baik biaya operasional, produksi, maupun biaya lain yang lazim dalam bisnis. Tapi yang pasti, tidak boleh ada keuntungan mutlak yang ditetapkan di muka.

Tak heran jika Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah bagian C ayat 2 berbunyi: “Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

Satu pesan moral yang begitu terasa dari fatwa MUI dan kitab tafsir ayat-ayat tentang hukum adalah, betapa bisnis dalam Islam berlandaskan saling percaya dan saling berbagi, baik untung maupun rugi.

Bagaimana bila diniatkan saja untuk sedekah?

Tentu saja sangat baik. Namun perlu diingat, sedekah bukanlah bisnis. Perbedaannya jelas: kita bersedekah demi berharap kerelaan Allah SWT  terhadap hambanya. Tidak ada pengharapan nilai keuntungan dalam konteks ini. Bahkan ada yang menafsirkan, justru pengharapan keuntungan dari sedekah bisa menghilangkan pahala sedekah itu sendiri.

Betapa indahnya keteraturan yang sudah diberikan jalannya dalam syariah. Mudah-mudahan setelah merapikan buku-buku lawas yang terserak, ketika itu saya berharap, pemahaman serta niat selalu dijaga.

Herry Gunawan, Pendiri Plasadana.com